Oleh : Ap. Widara
Ketika banyak orang yang mengagungkan
kesempurnaan. Aku malah terkapar menemukan
ketidakpastian pada kesempurnaan tersebut.
****
Jika ada yang menganggapku gila, maka merekalah yang gila, tidak manusiawi, picik, dan sentimentil. Pernah aku diejek sedemikian rupa oleh mereka, bahkan suatu ketika mereka melempariku dengan batu, tai kucing dan sebagainya. Pokoknya segala macam yang rasa-rasanya tidak pantas untuk mengenai wajah dan pakaianku.
Kepicikan mereka sebenarnya bukan tanpa alasan. Aku sering bepergian membawa pisau kesayanganku. Mereka menganggap aku adalah ancaman. Sebab sewaktu-waktu, apabila aku sedang hilang kesadaran, maka aku akan menusuk salah satu dari mereka. Picik! Tidak manusiawi! Katanya berpendidikan, tetapi mulut, kelakuan dan pola pikir mereka sama sekali tidak menunjukkan hal tersebut. Aku yakin semasa hidup mereka, pasti pernah merasakan kecintaan terhadap sesuatu, entah itu manusia, benda atau apa saja yang membuat dirinya aman, tenteram dan sebagainya. Dan aku, mencintai pisau kesayanganku, yang sering kubawa ke manapun dan di manapun aku berada. Wajar bukan!
Pernah aku mencintai seorang perempuan. Di hadapanku ia adalah yang paling sempurna. Ia cantik, anggun, sederhana, pengertian dan sabar. Pokoknya ia benar-benar permata dunia. Banyak sekali lontaran pujian dari masyarakat sekitar bila aku dengannya sedang berjalan-jalan sekedar melepas kepenatan seharian berada di rumah. Kata mereka, perempuanku itu sungguh memesona bahkan banyak lelaki yang juga mengaguminya, tapi sayang akulah Arjuna yang beruntung mendapatkannya. Padahal mereka tidak tahu, perempuanku itu mempunyai kekurangan yang tidak dimiliki perempuan manapun. Ia takut sekali dengan pisau, ya pisau. Entah ada apa! Sering aku menanyainya perihal ketakutannya terhadap pisau, karena bagiku tidak wajar jika seorang perempuan yang kesehariannya dekat dengan dapur takut dengan pisau., tapi perempuanku itu terus diam seribu bahasa. Hingga pada suatu hari bencana datang.
****
Malam itu, aku sudah tidak kuat untuk menguak misteri perihal phobia perempuanku terhadap pisau.
“Sayang, maaf bukannya lancang. Tapi aku mesti tahu ada hubungan apa antara pisau dan dirimu. Aku ini lelakimu, jadi aku pantas tahu tentang apa saja yang terjadi dengan perempuanku. Termasuk ketakutanmu terhadap pisau.” Kuberanikan diri untuk bertanya ketika ia sedang membereskan piring bekas makan malam. Tapi di luar dugaan, ia menjawabku dengan ketus. Aku takut sekali waktu itu, takut perempuanku sakit hati. Sebab aku terlanjur mencintainya.
“Sudahlah mas, ini adalah pertanyaanmu yang ke sekian dan terakhir kalinya. Karena aku sudah tidak kuat lagi atas rasa penasaranmu itu. Bukankah kita sudah sepakat bahwa kelemahanku ini tidak akan kau permasalahkan lagi, dan aku sangat memegang janjimu itu.”
Aku terperanjat lantas terdiam. Kaget atas jawaban perempuanku itu. Waktu seakan lambat, detak jantungku terasa lebih cepat dari jarum jam. Seumur hidupku dengannya, tidak pernah kudengar ia marah, bahkan mendengus atau cemberut sekalipun. Setengah mati aku berpikir, apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kami pun tidak saling tegur sapa sepanjang malam itu. Bahkan di atas ranjang yang menjadi saksi bisu atas kehangatan kami berdua mengarungi malam demi malam, ia dingin. Sedingin kutub pada musim dingin.
Tidak pernah tebersit dalam pikiranku bahwa perseteruan singkat malam itu akan berkepanjangan. Hingga pagi setelah aku terbangun dari mimpi, aku menemukan pisau yang tergolek berlumuran darah, dan di sebelahnya secarik kertas bertuliskan darah yang isinya membuatku shock. AKU PERGI!! TELAH KUBUAT LUKA ATAS DASAR KETAKUTANKU DAN RASA PENASARANMU. JANGAN CARI AKU. SEBAB KESEMPURNAAN TENGAH MENATAPKU DENGAN TAJAM. PEREMPUANMU……..
Sejak itulah aku selalu menyayangi pisau itu. Di samping pisau itu adalah peninggalan terakhir perempuanku, pisau itulah yang menghilangkan phobia perempuanku. Mungkin ia sekarang sedang memotong daging dengan pisau untuk makan malam lelakinya yang baru. Padahal aku belum pernah melihatnya seperti itu. Aku sangat bahagia membayangkannya.
****
Gemuruh malam, lagu jejangkrik, serta rembulan yang kurasa sejengkal di atas kepalaku mengiringi kesendirian yang menyeruak dalam benak dan batinku. Malam itu harusnya spesial. Sebab usiaku genap 30 tahun. Tidak ada perayaan, ataupun sekedar lagu selamat ulang tahun. Kata orang dalam usia ini, para lelaki akan semakin matang dalam segala hal termasuk urusan ranjang sekalipun. Tetapi pernyataan seperti itu sangat tidak berarti bagiku.
Aku berjalan menuju ruang tamu dan kubuka pintu untuk memandang langit mendung sambil tanganku menggenggam sebilah pisau kesayanganku. Lantas tersenyum padanya.
Tuhan tuntunlah aku menuju Arasy MU. Aku berjanji akan memandang kesempurnaan itu tanpa ratap dan tangis. Sebab aku yakin, hanya penyerahan dan pemasrahanlah yang membuat manusia semakin manusia.
kesempurnaan. Aku malah terkapar menemukan
ketidakpastian pada kesempurnaan tersebut.
****
Jika ada yang menganggapku gila, maka merekalah yang gila, tidak manusiawi, picik, dan sentimentil. Pernah aku diejek sedemikian rupa oleh mereka, bahkan suatu ketika mereka melempariku dengan batu, tai kucing dan sebagainya. Pokoknya segala macam yang rasa-rasanya tidak pantas untuk mengenai wajah dan pakaianku.
Kepicikan mereka sebenarnya bukan tanpa alasan. Aku sering bepergian membawa pisau kesayanganku. Mereka menganggap aku adalah ancaman. Sebab sewaktu-waktu, apabila aku sedang hilang kesadaran, maka aku akan menusuk salah satu dari mereka. Picik! Tidak manusiawi! Katanya berpendidikan, tetapi mulut, kelakuan dan pola pikir mereka sama sekali tidak menunjukkan hal tersebut. Aku yakin semasa hidup mereka, pasti pernah merasakan kecintaan terhadap sesuatu, entah itu manusia, benda atau apa saja yang membuat dirinya aman, tenteram dan sebagainya. Dan aku, mencintai pisau kesayanganku, yang sering kubawa ke manapun dan di manapun aku berada. Wajar bukan!
Pernah aku mencintai seorang perempuan. Di hadapanku ia adalah yang paling sempurna. Ia cantik, anggun, sederhana, pengertian dan sabar. Pokoknya ia benar-benar permata dunia. Banyak sekali lontaran pujian dari masyarakat sekitar bila aku dengannya sedang berjalan-jalan sekedar melepas kepenatan seharian berada di rumah. Kata mereka, perempuanku itu sungguh memesona bahkan banyak lelaki yang juga mengaguminya, tapi sayang akulah Arjuna yang beruntung mendapatkannya. Padahal mereka tidak tahu, perempuanku itu mempunyai kekurangan yang tidak dimiliki perempuan manapun. Ia takut sekali dengan pisau, ya pisau. Entah ada apa! Sering aku menanyainya perihal ketakutannya terhadap pisau, karena bagiku tidak wajar jika seorang perempuan yang kesehariannya dekat dengan dapur takut dengan pisau., tapi perempuanku itu terus diam seribu bahasa. Hingga pada suatu hari bencana datang.
****
Malam itu, aku sudah tidak kuat untuk menguak misteri perihal phobia perempuanku terhadap pisau.
“Sayang, maaf bukannya lancang. Tapi aku mesti tahu ada hubungan apa antara pisau dan dirimu. Aku ini lelakimu, jadi aku pantas tahu tentang apa saja yang terjadi dengan perempuanku. Termasuk ketakutanmu terhadap pisau.” Kuberanikan diri untuk bertanya ketika ia sedang membereskan piring bekas makan malam. Tapi di luar dugaan, ia menjawabku dengan ketus. Aku takut sekali waktu itu, takut perempuanku sakit hati. Sebab aku terlanjur mencintainya.
“Sudahlah mas, ini adalah pertanyaanmu yang ke sekian dan terakhir kalinya. Karena aku sudah tidak kuat lagi atas rasa penasaranmu itu. Bukankah kita sudah sepakat bahwa kelemahanku ini tidak akan kau permasalahkan lagi, dan aku sangat memegang janjimu itu.”
Aku terperanjat lantas terdiam. Kaget atas jawaban perempuanku itu. Waktu seakan lambat, detak jantungku terasa lebih cepat dari jarum jam. Seumur hidupku dengannya, tidak pernah kudengar ia marah, bahkan mendengus atau cemberut sekalipun. Setengah mati aku berpikir, apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kami pun tidak saling tegur sapa sepanjang malam itu. Bahkan di atas ranjang yang menjadi saksi bisu atas kehangatan kami berdua mengarungi malam demi malam, ia dingin. Sedingin kutub pada musim dingin.
Tidak pernah tebersit dalam pikiranku bahwa perseteruan singkat malam itu akan berkepanjangan. Hingga pagi setelah aku terbangun dari mimpi, aku menemukan pisau yang tergolek berlumuran darah, dan di sebelahnya secarik kertas bertuliskan darah yang isinya membuatku shock. AKU PERGI!! TELAH KUBUAT LUKA ATAS DASAR KETAKUTANKU DAN RASA PENASARANMU. JANGAN CARI AKU. SEBAB KESEMPURNAAN TENGAH MENATAPKU DENGAN TAJAM. PEREMPUANMU……..
Sejak itulah aku selalu menyayangi pisau itu. Di samping pisau itu adalah peninggalan terakhir perempuanku, pisau itulah yang menghilangkan phobia perempuanku. Mungkin ia sekarang sedang memotong daging dengan pisau untuk makan malam lelakinya yang baru. Padahal aku belum pernah melihatnya seperti itu. Aku sangat bahagia membayangkannya.
****
Gemuruh malam, lagu jejangkrik, serta rembulan yang kurasa sejengkal di atas kepalaku mengiringi kesendirian yang menyeruak dalam benak dan batinku. Malam itu harusnya spesial. Sebab usiaku genap 30 tahun. Tidak ada perayaan, ataupun sekedar lagu selamat ulang tahun. Kata orang dalam usia ini, para lelaki akan semakin matang dalam segala hal termasuk urusan ranjang sekalipun. Tetapi pernyataan seperti itu sangat tidak berarti bagiku.
Aku berjalan menuju ruang tamu dan kubuka pintu untuk memandang langit mendung sambil tanganku menggenggam sebilah pisau kesayanganku. Lantas tersenyum padanya.
Tuhan tuntunlah aku menuju Arasy MU. Aku berjanji akan memandang kesempurnaan itu tanpa ratap dan tangis. Sebab aku yakin, hanya penyerahan dan pemasrahanlah yang membuat manusia semakin manusia.
0 komentar:
Posting Komentar