Ads: 300x250

Minggu, 11 November 2007

Matematika dan Anak Kecil

Oleh: Ade Sunawan

Widyaiswara LPMP Jawa BaratKenapa tulisan ini mengambil judul seperti di atas? Judul tersebut sengaja dimunculkan, ketika tanpa sengaja penulis membaca suatu Jurnal dari Bob Perry dan Sue Docket, dengan judul “Young Children’s Access to Powerful Mathematical Idea”. Tulisan ini sengaja disusun, dengan maksud, semata – mata untuk menggugah pemikiran kita bahwa anak kecil juga mampu bermatematika. Landasan berfikirnya, karena sering kali kita menganggap bahwa anak kecil sebagai seorang individu yang tidak bisa apa – apa, bagaikan kertas kosong yang harus kita bentuk sedemikian rupa sehingga menjadi seperti yang diinginkan. Padahal, merujuk pada jurnal ini, anak kecil sebenarnya juga telah memiliki ide – ide tentang matematika. Tentu saja, ide yang dimiliki oleh anak kecil akan sangat jauh berbeda dengan gagasan metematis yang dimiliki oleh orang dewasa. Apabila orang dewasa cenderung mengungkapkan ide matematikanya melalui simbolisasi dan bahasa formal matematika, maka anak kecil akan lebih sederhana daripada itu, biasanya mereka melakukannya melalui suatu pengungkapan bahasa lisan. Contoh dari ide – ide matematika (the powerefull mathematical ideas) yang bisa muncul dari seorang anak kecil adalah:

  • Terkait dengan konsep pengukuran, anak dapat menyebutkan sebuah batang lidi yang lebih panjang dan lebih pendek, usia kakaknya yang lebih tua dibandingkan dengannya, perbedaan tinggi antara dirinya dengan temannya, berat suatu benda yang masanya berbeda, dan sebagainya.
  • Terkait dengan konsep bilangan dan statistika, anak dapat menyebutkan banyaknya kumpulan dari suatu benda, dan sebagainya.
  • Terkait dengan konsep geometri, anak dapat menyebutkan benda yang berbentuk bulat, lonjong, dan kotak, dan sebagainya.

Inisiasi Matematika pada Anak Kecil

Tentu saja, kemampuan memunculkan the powerful mathematical ideas tidak dapat datang dengan sendirinya. Potensi matematika yang telah ada dalam struktur kognitif anak harus dirangsang sedemikian rupa agar idenya dapat keluar. Berikut adalah stimulus – stimulus yang dapat dilakukan oleh seorang guru atau orang dewasa di sekitarnya untuk membantu dengan ide matematikanya. Yang dimaksud dengan anak kecil adalah ada pada usia 0 s.d 8 tahun (the early childhood years)Hantarkan matematika itu menjadi sesuatu yang dekat dengan dunia anak. Yang dimaksud dengan dunia anak di sini, bukanlah hanya semata bahwa permasalahan matematika yang diajukan itu ada kaitannya dengan dunia nyata saja, tetapi membawa anak memikirkan sesuatu yang dapat dijangkau dengan alam pikirannya atau menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dia kuasai sebelumnya, juga termasuk ke dalam hantaran matematika yang perlu dilakukan. Proses demikian dinamakan dengan kegiatan matematisasi.Beri kesempatan kepada anak untuk mengeksplorasi sendiri pengetahuannya tentang apa itu matematika. Anak perlu merasakan sendiri, bagaimana sebenarnya dulu matematika ditemukan. Itulah yang disebut dengan kegiatan guided reinvention.

Kegiatan yang dimaksud dapat dilakukan dengan kegiatan belajar matematika sambil bermain, hands-on activity. Anak diberi kesempatan untuk memanipulasi benda – benda konkrit (model of), sebelum akhirnya dia dapat menghubungkan antara ide yang didapatnya ketika manipulasi menjadi suatu hantaran penalaran, misalnya berupa gambar (model for), sehingga terbentuk konjektur, sebagai suatu asumsi dasar yang belum terbukti kebenarannya, tetapi dapat dia pahami. Konjektur yang dihasilkan tersebut, mungkin saja berbeda baik dari segi simbolisasi, kata dan kalimat, tetapi biarkan hal itu terjadi. Justru hal itu adalah kesempatan bagi guru untuk mempertanyakan, sehingga anak menjadi terlatih dalam hal kompetensi berkomunikasi dengan baik, mengemukakan pendapat, berargumentasi, menceritakan kegiatan konstruksi yang dia lakukan, sampai akhirnya dia dapat menjelaskan hasil pemahamannya tersebut agar dapat dimengerti oleh orang lain. Terkait dengan hal ini, guru dituntut untuk memiliki kompetensi khusus dalam matematika. Pertama, guru harus memiliki pengetahuan matematika yang luas, sehingga dia mampu menghubungkan antara berbagai macam topik yang setara. Kedua, guru juga memiliki pengetahuan yang dalam tentang matematika, sehingga dia mampu mengetahui hubungan antara topik satu dengan topik lainnya, artinya adanya suatu pemahaman bahwa matematika itu struktur ilmunya seperti spiral, konsep satu akan berkaitan dengan konsep lainnya yang berbeda. Ketiga, guru juga memiliki kemampuan matematika yang sifatnya lateral, artinya dia tidak memandang matematika sebagai “matematika” saja, tetapi dia mampu menghubungkan matematika dengan mata pelajaran lain, atau menghubungkan aplikasi matematika itu sendiri dalam kehidupan nyata. Penerapan dalam praktek mengajarnya, adalah guru berperan sebagai fasilitator/pengarah, yang hanya memberika scafolding, apabila anak menmgalami kesulitan dalam manipulasinya (Vigotsky dalam Oakley, 2004)

Selalu memberi tantangan pada anak untuk lebih meningkatkan konstruksi pengetahuannya tentang matematika. Guru harus memberi tugas atau pertanyaan yang menantang, rich task, sehingga anak tertarik dan tertantang. Tetapi tetap saja pertanyaan yang diajukan harus sesuai dengan tahapan kognitif dimana si anak berada. Untuk itu, guru juga harus memahami psikologi perkembangan Selalu memberi tantangan pada anak untuk lebih meningkatkan konstruksi pengetahuannya tentang matematika. Guru harus memberi tugas atau pertanyaan yang menantang, rich task, sehingga anak tertarik dan tertantang. Tetapi tetap saja pertanyaan yang diajukan harus sesuai dengan tahapan kognitif dimana si anak berada. Untuk itu, guru juga harus memahami psikologi perkembangan anak kecil. Piaget (dalam Oakley, 2004), menyatakan bahwa anak kecil, usia 0 s.d 8 tahun, masih berada pada tahap sensori motor dan praoperasional, artinya anak pada tahapan ini masih kesulitan dalam berfikir logika yang abstrak. Contoh pertanyaan yang rich task adalah:Di suatu pesta ulang tahun, Joshua, mengundang 2 orang temannya. Apabila di meja tersedia 16 buah permen loli, berapa loli yang akan diterima oleh setiap orang dengan jumlah yang sama?

Manfaatkan teknologi untuk membantu anak belajar matematika. Contohnya adalah, pembelajaran dapat menggunakan kalkulator. Groves (1996), menyatakan bahwa penggunaan kalkulator dapat memperkuat pengetahuan anak tentang bilangan. Contoh lainnya, pembelajaran dapat menggunakan komputer. Komputer dapat dijadikan sebagai hantaran semi konkrit bagi anak untuk berimajinasi dengan benda – benda yang tidak ada di sekitar dirinya.

Tentu saja, di Indonesia, pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran masih merupakan suatu keniscayaan yang jauh, tetapi alternatif ini perlu difikirkan sebagai salah satu cara untuk lebih meningkatkan dan menggali ide – ide anak dalam matematika.

Penutup

Walaupun Shore (1997) menyatakan bahwa perkembangan kognitif anak itu dipengaruhi oleh faktor keturunan dan lingkungan tempat anak berada, namun Shore juga masih menambahkan bahwa kehangatan, dan hubungan interaksi yang didasarkan pada pengakuan dan penghargaan, akan lebih membuat anak memaknai pentingnya arti belajar, sehingga tumbuh pribadi yang siap untuk memecahkan masalah hidupnya.

Daftar Pustaka

Groves, S. (1997). Calculators in Primary Mathematics. NCTM: Reston, V. A.

Liebeck, P. (1984). How Children Learn Mathematics: A guide for parents and teachers. Penguin Group: London.

Oakley, L. (2004). Cognitif Development. Routledge: New York

Perry, B. Docket, S. Young Children’s Access to Powerful Mathematical Ideas. Handbook of International Reasearch in Mathematics Education. (2002). LEA Publishers: London.

Shore, R. (1997). Rethinking The Brain: New Insight into early development. Families and Work Institutes: New York. Tucker, K. (2005). Mathematics Through Play in The Early Years. Paul Chapman Publishing: London.

0 komentar: